Powered By Blogger

Selasa, 18 November 2008

SEKILAS TENTANG PITI


MASJID CENG HOO


Bangsa cina memang fenom

enal, penghuni cina daratan dan cina perantauan yang tersebar diseluruh penjuru dunia telah membentuk sebuah komunitas terbesar dari jumlah populasi dunia, menariknya lagi sebagai bangsa besar yang berperadaban tinggi dan agung. Dimanapun orang cina berada, ia takkan pernah bisa dipisahkan dengan identitas budaya yang kuat dan tradisi niaga yang telah mendarah daging.

Kini setelah masyarakat cina modern tersebar maka secara perlahan - lahan terjadi proses pembaruan dan pembauran dengan tingkatan yang berbeda. Kini komunitas cina modern menjadi penganut beragam agama dan kepercayaan namun yang membanggakan simbol - simbol budaya dan tradisi leluhur menjadi sebuah simpul perekat diantara mereka sehingga secara sadar mereka berusaha melestarikannya dari masa ke masa.
Setidaknya sekali dalam setahun warga etnis tionghoa menggelar pesta rakyat tahun baru cina yang dirayakan dengan berbagai gelar budaya yang menampilkan sejumlah kesenian khas negeri naga seperti pawai lampion, barongsai atau liang liong dalam gebyar warna merah yang dominan dan salam khas yang kian akrab terdengar di telinga kita “GONG XI FAT CAI”

Jejak Kyai Kuning

Negeri Cina ternyata tidak hanya terkenal di mancanegara sebagai negeri kuning dengan sungai kuning (Hwang Ho), jika dilihat sejarah penyebaran agama Islam di nusantara maka peran penganjur - penganjur agama Islam dari negeri tiongkok patut dikedepankan, merekalah yang kemudian disebut oleh orang - orang pribumi atau masyarakat jawa sebagai kyai kuning.

Jejak kyai kuning sangat terlihat pada beberapa aristektur masjid tua dan bersejarah yang mengadopsi arsitektur khas negeri tiongkok dan memadukannya dengan arsitektur lokal dan timur tengah. Masjid Jami’ Sumenep dan Asta tinggi yang monumental sebagai makam raja - raja sumenep memperlihatkan jejak - jejak peninggalan kyai kuning dalam pembangunan peradaban Islam.

Cerita tentang kyai kuning ini tidaklah lengkap tanpa menyebutkan seorang bahariwan agung Laksamana Cheng Hoo yang memimpin pelayaran muhibah sebanyak tujuh kali antara tahun 1405 hingga 1433 dan mengunjungi 30 negara di rantau melayu, Asia Selatan dan Timur Tengah. Cheng Hoo dan armadanya diyakini oleh banyak sejarawan dunia mempunyai andil yang besar dalam penyebaran agama Islam di semenanjung melayu termasuk di Pulau Jawa dan Sumatera. Dalam Perjalanannya ke Jawa Timur yang bertepatan pada hari Jum’at, Cheng hoo didaulat sebagai Kyai Kuning yang berkhutbah di hadapan ratusan warga surabaya, diriwayatkan pula bahwa armada cheng hoo juga mentransformasikan beberapan kemahirannya di berbagai disiplin ilmu seperti perikanan, pertanian, peternakan dan pertukangan.

Kisah Heroik Kyai Kuning dalam syiar agama Islam adalah kepeloporan Pangeran Jin Bun putra prabu Brawijaya (1453 - 1478) dari seorang selir berdarah cina yang dalam beberapa catatan sejarah disebutkan beragama Islam. Pangeran Jin Bun yang beragama Islam diberi kedudukan sebagai Bupati Demak yang bergelar Raden Patah. Dari Demaklah gerakan reformasi sang kyai kuning di mulai. Raden Patah melihat kebesaran majapahit hanyalah semu belaka sebab persatuan dalam negeri melemah sementara penyebaran agama Islam di Pantai Utara dan Pesisir Timur Pulau Jawa sudah demikian meluasnya yang dipelopori oleh pedagang - pedagang tiongkok yang sebagian besar beragama Islam dan dukungan dari para sunan yang terkenal sebagai wali sembilan (wali songo). Pada sekitar tahun 1500 M, Raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro yang memerintah di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam antara lain Gresik, Tuban dan Jepara, Raden Patah mendirikan Kesultanan Islam yang berpusat di Demak.Dari Demaklah cita - cita Kyai Kuning untuk penyebaran dan pengembangan Syiar Islam dimulai dan Dari Demaklah Kebangkitan Islam pada mulanya disuarakan dan diperjuangkan hingga ke penjuru nusantara.

Kyai Kuning Dan Masjid Mohammad Chengho

Selain Jejak Perjuangan Kyai Kuning ternyata terdapat sejumlah tapak sejarah yang tersisa seperti kronik bersejarah kerajaan nusantara, peta , benda kuno juga bangunan bercorak arsitektur cina seperti kampung pecinan, klenteng, makam, masjid hingga istana.

Gerbang Utama Masjid Jamik Kota Sumenep,

Paduan Arsitektur multi etnik yang menawan

Di tengah Kota Pahlawan Surabaya, PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) berhasil merealisasikan pembangunan Masjid Laksamana Muhammad Cheng hoo sebagai monumen atas dakwah chengho sekaligus sebagai sumbangsih nyata etnis tionghoa bagi kemajuan peradaban nusantara.

Program utama PITI diarahkan untuk menyampaikan dakwah Islam, khususnya kepada masyarakat Tionghoa. Caranya dengan melakukan pembinaan dalam bentuk bimbingan menjalankan syariat Islam di lingkungan keluarga yang masih non-Muslim. Kemudian persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan serta pembelaan dan perlindungan bagi mereka yang karena masuk Islam, namun bermasalah dengan keluarga dan lingkungannya.

PITI juga mengadakan pengajian rutin untuk membina para muallaf. Masih dalam rangka pembinaan, PITI menerbitkan Juz ‘Amma berbahasa Mandarin dan buku tuntunan berjudul “Tuntunan bagi Saudara Baru” yang berisi tata cara shalat dan surat-surat pendek al-Qur’an (Juz ‘Amma). Semuanya ditulis dalam tiga bahasa: Arab, Mandarin dan Indonesia. Buku ini dimaksudkan untuk memberi inspirasi warga etnis Tionghoa agar masuk Islam. Penerbitnya adalah Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo (YHMCH), sebuah yayasan yang didirikan oleh PITI.

Kyai Kuning , gerakan pembaruan dan pembauran

Dua Lagi Kyai Kuning yang mempunyai andil cukup besar bagi gerakan pembaruan dan pembauran di kalangan masyarakat etnis tionghoa adalah Haji Abdul Kariem Oei Tjeng Hien dan Haji Yunus Yahya alias Lauw Chuan Tho.

Bapak Karim Oei (1905-1988) masuk Islam ditahun 30-an dan akrab sekali dengan Presiden Soekarno dan Buya Hamka. Beliau seorang tokoh Muhammadiyah dan pionir dakwah, pejuang kemerdekaan, muslim yang taat dan sukses di bidang ekonomi.

Haji Kariem Oei dikenal sebagai tokoh pembaruan dan pembauran yang begitu istimewa dihati saudara kita etnis tionghoa baik yang muslim maupun yang non muslim, untuk meneruskan jejak perjuangannya maka Haji Yunus Yahya kemudian mendirikan Yayasan Haji Kariem Oei pada tanggal 9 April 1991 dengan mengontrak ruko di Jalan Lautze 87-89 Pasar Baru, Jakarta Pusat. Yayasan ini kemudian menghimpun jamaah muslim dari etnis tionghoa dan masyarakat sekitar dan mendirikan sebuah masjid sebagai pusat Syiar Islam yang kemudian dikenal sebagai Masjid Lautze. Lokasi gedung Yayasan Kariem Oei dan Masjid Lautze yang memang terletak di area Pecinan (China town) memudahkan warga keturunan memperoleh informasi tentang Islam walhasil kini mesjid ini sudah mengislamkan 1000-an keturunan Tionghoa. Hebatnya, masjid tidak pernah mengajak apalagi memaksa, hanya menyediakan informasi tentang Islam.

Pilihan menjadi muslim dan muslimah memang menjadi salah satu gerakan pembaruan dan pembauran etnis tionghoa, hal ini dipertegas dengan penyataan Haji Yunus Yahya :

"Setelah seorang keturunan Tionghoa menjadi muslim, maka keadaannya sungguh berlainan. Antara si pribumi (yang umumnya beragama Islam) dan nonpri keturunan Tionghoa yang masuk Islam, terjalin suatu hubungan batin yang luar biasa menakjubkan. Persamaan agama, dalam hal ini Islam, menciptakan hubungan mesra dan mengharukan sebagai saudara seagama. Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, arti dan nilai saudara sekandung tidak lebih besar dari saudara seagama. Bahkan, saudara sekandung bisa berbeda agama dengan segala konsekuensinya di akhirat. Sedangkan, saudara seagama sifatnya abadi di dunia maupun di akhirat."

Jejak Kyai Kuning dalam gerakan pembaruan dan pembauran sesungguhnya bisa menjadi inspirasi yang menumbuhkan kesadaran sebagai anak bangsa untuk bangkit dan bersatu dalam membangun satu negeri INDONESIA.

Tidak ada komentar: