Powered By Blogger

Selasa, 18 November 2008

JEJAK MASJID LAUTZE

Silaturahmi PA ALI KARIM OIE KE MASJID LAUTZE 2 DI BANDUNG


imageAda anjuran tak tertulis di kalangan etnis Tionghoa, yaitu boleh masuk agama apa saja kecuali Islam. Dienullah ini digambarkan sebagai agama tukang nyandung (orang yang suka berpoligami).

Benarkah mualaf itu hanya sebutan untuk orang yang baru pertama kali masuk Islam? Bagaimana dengan orang yang sejak lahir Islam, tapi baru akan memperdalam ilmu agamanya, apakah pantas disebut mualaf? Bagaimana dengan stigma mengenai Islam sebagai agama "rendah" (sampai-sampai ada istilah di kalangan etnis Tionghoa, boleh memeluk agama lain kecuali agama Islam)? Bagaimana menghapuskan stigma agama Islam identik dengan poligomi?

Berondongan pertanyaan itu mengemuka dalam acara silaturahmi Muslim Tionghoa di Bandung, akhir pekan lalu. Dalam kemasan acara bertajuk 'Ada Apa dengan Mualaf ?'.

Apreasiasi dari peserta di luar dugaan. Mereka bersama-sama mencari solusi bagi semua permasalahan yang dihadapi mualaf. Hadir sebagai narasumber pada acara itu adalah Wakil Ketua Yayasan Haji Karim Oei Jakarta HM Ali Karim Oei dan pengurus masjid Lautze Ku Kie Fung S Ag Muh Syarif Abdurrahman. Acara itu dihadiri juga oleh mantan preman dan residivis Anton Medan dan pelawak asal Bandung, Sup Yusup, beserta istri.

Menurut HM Ali Karim Oei, di Jakarta pihaknya sudah mengislamkan sekitar dua ribu orang sejak 10 tahun lalu. Setiap satu minggu, kata dia, masjidnya mengislamkan dua atau tiga orang. Selain di Jakarta, kata dia, di Masjid Lautze Bandung dan Tanggerang pun banyak mualaf yang datang. Bahkan, di daerah lain minat non-Muslim untuk memeluk agama Islam pun tinggi. ''Oleh karena itu, kami akan membuka masjid di Cirebon, dan Surabaya pun akan dibuat Masjid Lautze,'' katanya.

Bila dilihat per wilayah, Jakarta, kata dia, paling banyak mualafnya. Sebenarnya, kata dia, banyak orang, terutama etnis Tionghoa, yang ingin tahu Islam tapi tidak harus kemana. Pada umumnya, kata dia, orang Tionghoa yang mau tahu tentang Islam itu akan mencari Masjid Lautze. ''Karena bentuk Masjid Lautze seperti ruko jadi tidak menakutkan bagi mereka,'' ujarnya.

Para mualaf, kata Ali, masih memiliki kendala dan hambatan setelah masuk Islam. Memang, kata dia, masalah yang mereka hadapi itu bentuknya bukan penyiksaan seperti zaman dulu. Namun, tekanan dalam bentuk lain, misalnya tekanan perasaan. ''Kendala yang dihadapi oleh mualaf sekarang misalnya di sekolah, begitu tahu Islam langsung dikeluarkan oleh sekolah berlatar agama lain,'' jelasnya. Beruntung, jalan keluar sudah diperoleh. Mereka menjalin kerja sama dengan Muhamadiyah dan lembaga pendidikan Islam yang lain untuk menampung mereka.

Sebelum zaman demokrasi, kata dia, banyak mualaf yang diusir oleh keluarganya karena keluarganya tidak setuju ia berislam. Sehingga, pihaknya menyiapkan tempat untuk menampung mualaf yang diusir itu. Namun, lama-lama tempat itu tidak terpakai lagi setelah globalisasi dan modernisasi berkembang. ''Upaya yang kami lakukan saat ini adalah pembinaan setiap hari dengan menyiapkan ustadz dan ustadzah,'' katanya.

imageSedangkan menurut Anton Medan, untuk berdakwah pada etnis Tionghoa, tantangannya sangat besar dibanding berdakwah di kalangan pribumi. Hal itu, kata dia, berkaitan dengan kesiapan mental. Karenanya, ia menganjurkan agar mualaf dari etnis Tionghoa agar berbaur dengan Muslim pribumi. ''Tapi pada umumnya, kalau akidah dan keyakinan mereka kurang kuat maka akan mengalami kesulitan setelah menjadi mualaf,'' ujarnya.

Sup Yusup yang juga menjadi nara sumber dalam acara itu menceritakan, pada saat menjadi mualaf, etnis Tionghoa mengalami beberapa kendala. Terutama, kata dia, berkaitan dengan stigma yang dibangun tentang islam oleh non-Muslim. Islam, kata dia, diidentikan dengan tukang nyandung (poligami). Sehingga, kata dia, pada saat istrinya yang bernama Lie Ing masuk Islam, semua temannya menghina istrinya. ''Teman-teman istri saya mengatakan, kenapa harus masuk Islam, nanti hidup kamu tidak bahagia karena dimadu, lebih baik masuk agama lain saja asal bukan Islam,'' katanya menirukan.

Stigma lain yang sudah terbangun pada non-Muslim, kata dia, adalah, jika masuk Islam maka akan merosot dari segi materi. Pemikiran-pemkiran seperti itu, kata dia, menjadi tugas semua orang untuk merubahnya. Pasalnya, minat etnis Tionghoa untuk menjadi mualaf itu makin besar jika semua pihak membangun image Islam yang sebenarnya. ''Yang terpenting dari semua kendala itu adalah bagaimana agar mualaf itu bisa terus dibimbing dan dijaga keimanannya,'' katanya.

Sedangkan menurut Ketua Pengurus Masjid Lautze Cabang Bandung, Muhamad Bobby Alandi, kondisi yang dialami oleh mualaf Indonesia sesuai dengan kondisi umat Islam. Saat ini, kata dia, kondisi umat Islam merosot di segala bidang, begitu juga dengan kondisi mualafnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Pertama, kata dia, kondisi umat islam yang lemah itu bisa membuka peluang maraknya upaya-upaya pemurtadan. Jadi, kata dia, mualaf perlu diperhatikan dengan terus memberikan bimbingan. Oleh karena itu, pihaknya akan membangun pondok singgah di Bandung. Rencananya, pembangunan dilakukan mulai 2006.''Pondok singgah untuk mualaf harus ada sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mualaf,'' ujarnya. ( Republika Online / n kie / Irwan MCOL)

1 komentar:

pats mengatakan...

Menjadi tugas kita..muslim indonesia pd umumnya..dan kalian,muslim keturunan tionghoa pd khususnya..utk memberitakan wajah islam yg sesungguhnya..yg lembut..yg tidak mengedepankan kekerasan.. beberapa tahun terakhir wajah islam indonesia di coret dg ulah segelintir ormas yg mengatasnamakan islam tp berperilaku lebig kepada amarah/kekerasan. Terebih wajah islam dunia makin coreng dg adanya stigma2 teroris ISIS , Al Qaeda..dll dll.
Tugas kita brother..sbg umat Muhammad SAW utk meluruskan semua...untuk itu kita perlu ilmu yg mumpuni utk bisa melakukan tugas tsb..
Teruslah menggali keislaman kita brother...biar makin yakin dan tau
Wassalamu'alaikum